Jumat, 27 Maret 2015

Figuritas dan Etika





Figur itu adalah panutan, yaitu bisa menentukan kualitas baik dan tidak baiknya persepsi kita, sehingga panutan seyogyanya adalah sebaik-baiknya tolak ukur dalam menjawab problematika diri, ketika figur menampilkan “geraknya” maka itulah salah satu cara kita mencari perspektif “kenapa” hal itu dilakukannya ? , sehingga disini terjadi dialektika, yaitu proses belajar antara yang dipanuti dan yang mengagumi. Disitu pun terjadi proses edukasi, dimana yang dipanuti akan berusaha lebih bijak memilah “gerakannya” dan pengagum lebih bisa menyimak “pembelajaran” olehnya.
Secara sadar ataupun alam bawah sadar, kecenderungan rasa kekaguman itu adalah mencontoh, menyimak, bahkan memuja sosok figurnya, maka orientasi kemauan sang pengagum akan menjadi gerak “menjadi”. Nah, gerak menjadi inilah yang kemudian mengakibatkan terjadi proses “mengidentikkan” diri, baik secara perlahan maupun perubahan secara tiba-tiba. Proses tersebut dinamai “menjadi”, sehingga wajarlah ketika seseorang yang memampang karikatur Soekarno dalam kamarnya, paling tidak mencontohi tegap badannya, tatapan matanya, ataupun kemampuan beretorikanya, sangat banyak contoh tokoh-tokoh dunia yang berangkat dari cermin figurnya.
Semakin banyak informasi mengenai figur tersebut, maka semakin gerak mengenal pun lebih banyak dari sebelumnya. Konsekuensi dari penerimaan informasi pengenalan ini akan bermuara pada penumpukan data-data di alam bawah sadar, tidak peduli apakah itu informasi buruk maupun yang baik. Ketidak adanya filtering seperti ini terkadang menjadikan tindakan-tindakan bergerak secara intuitif, baik dari tindakan aktual bahkan yang lebih parah, merubah perspektif ideal dalam melihat realitas.

Sekarang, coba lihat realitas sekarang, ketika masyarakat kita ditanya tentang siapa sosok figurnya ? sebahagian mungkin tidak akan menjawab karena kebingungan, ada yang mencari dalam lingkup yang bahkan sangat kecil yang dengan polosnya mengatakan “sosok itu adalah ibu”, dan yang sangat memprihatinkan ketika figur itu adalah seorang artis, yang notabene bergelut dengan dunia lakon.
Coba renungkan, menjadikan sosok artis sebagai figur dimana ketokohannya dinilai dari “jasanya” menghibur masyarakat yang dengannya jasanya itu dibayar ? kan konyol, suka sama orang yang digaji supaya orang-orang suka sama dia. Tidak ada ukuran mendasar dari figuritas tersebut, dimana ideologi dan tindakannya tak mencerminkan sesuatu yang real, tidak ada jaminan adanya ketulusan, mungkin asumsi ini berangkat dari konotasi artis yang telah melekatkan dirinya dengan fans. Dan konsekuensi itu berarti harus terus bersiap “duduk manis” untuk memenuhi selera masyarakat.
Itulah yang terjadi, proses memanjakan masyarakat. Sebagaimana diketahui, proses edukasi tidak boleh dilekatkan dengan memanjakan minat lain yang memungkinkan terganggunya konsentrasi pembangunan mentalitas diri, memanjakan identik dengan kepuasan. Dan kepuasan adalah tempat yang buruk untuk dijadikan berproses dalam memaknai realitas yang semakin kompleks sekarang ini.
Sehingga figuritas dan etika akan menjadi kesatuan yang tak terpisahkan, semakin rendah daya edukasi tokoh, maka semakin manja proses perkembangan mental dari penggemarnya. Wajarlah ketika masyarakat-masyarakat yang terbentuk hanyalah emosional kesenangannya saja. Ketika sang tokoh memperlihatkan penyakit latahnya, si penggemar menjadikan itu sebagai sebuah kewajaran dalam perspektifnya, yang bahkan lebih parah lagi bisa “menularinya” akibat dari proses pembiasaan kewajaran tersebut. Semakin banyak tangisan dari tokoh dalam menanggapi hal-hal yang sepele, konsekuensinya pun pasti lebih parah terhadap kejiwaan penggemarnya.

 Itulah yang terjadi di masa sekarang ini, masyarakat-masyarakat bermental rapuh namun sangat mudah diarahkan oleh suara yang telah dihakimnya sebagai baik mutlak, dan sangat menolak bahkan merasa terganggu dengan yang berbanding terbalik dengan perspektif baik mutlaknya, yaitu penokohannya, atau disebut dengan fanatisme. Pada beberapa puluh tahun lalu, masih banyak figur-figur penghibur yang memiliki karakteristik yang memang layak dijadikan tokoh panutan, semua pun kenal sosok seperti Iwan Fals ataupun grup Warkop DKI, mereka punya karakteristik yang mapan, tidak abu-abu. Maksud dari kemapaman disini adalah kemampuannya untuk tetap konsisten dalam menyajikan kemampuannya untuk menjadikan diri mereka sosok ikutan. Namun tidak sekedar julukan sosok ikutan, mereka memberikan pesan-pesan maknawi dalam setiap sajiannya. Ya, menjawab problematika sosial pada saat itu, pesan-pesannya kontekstual. Sarat dengan suara-suara gerakan.


Nah coba bandingkan figur-figur artis sekarang, tak memiliki “corak”. Itu terjadi karena ketidak adanya konsistensi dalam melihat bakat dirinya sendiri. Ketika pasar menginginkan lagu, mereka bernyanyi, ketika pasar mengingkan berjoget, mereka pun dengan seronok berlenggak-lenggok. Begitu seterusnya, sehingga jelaslah pencapaian masyarakat yang mengkonsumsi itu. Konsenkuensinya berujung pada pemaknaan nihil, sekedar ungkapan ekspresi emosional yang labil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar