Figur itu adalah panutan, yaitu
bisa menentukan kualitas baik dan tidak baiknya persepsi kita, sehingga panutan
seyogyanya adalah sebaik-baiknya tolak ukur dalam menjawab problematika diri,
ketika figur menampilkan “geraknya” maka itulah salah satu cara kita mencari
perspektif “kenapa” hal itu dilakukannya ? , sehingga disini terjadi
dialektika, yaitu proses belajar antara yang dipanuti dan yang mengagumi.
Disitu pun terjadi proses edukasi, dimana yang dipanuti akan berusaha lebih
bijak memilah “gerakannya” dan pengagum lebih bisa menyimak “pembelajaran”
olehnya.
Secara sadar ataupun alam bawah
sadar, kecenderungan rasa kekaguman itu adalah mencontoh, menyimak, bahkan
memuja sosok figurnya, maka orientasi kemauan sang pengagum akan menjadi gerak “menjadi”.
Nah, gerak menjadi inilah yang kemudian mengakibatkan terjadi proses “mengidentikkan”
diri, baik secara perlahan maupun perubahan secara tiba-tiba. Proses tersebut
dinamai “menjadi”, sehingga wajarlah ketika seseorang yang memampang karikatur
Soekarno dalam kamarnya, paling tidak mencontohi tegap badannya, tatapan
matanya, ataupun kemampuan beretorikanya, sangat banyak contoh tokoh-tokoh
dunia yang berangkat dari cermin figurnya.
Semakin banyak informasi mengenai
figur tersebut, maka semakin gerak mengenal pun lebih banyak dari sebelumnya.
Konsekuensi dari penerimaan informasi pengenalan ini akan bermuara pada
penumpukan data-data di alam bawah sadar, tidak peduli apakah itu informasi
buruk maupun yang baik. Ketidak adanya filtering seperti ini terkadang
menjadikan tindakan-tindakan bergerak secara intuitif, baik dari tindakan
aktual bahkan yang lebih parah, merubah perspektif ideal dalam melihat
realitas.
Sekarang, coba lihat realitas
sekarang, ketika masyarakat kita ditanya tentang siapa sosok figurnya ?
sebahagian mungkin tidak akan menjawab karena kebingungan, ada yang mencari
dalam lingkup yang bahkan sangat kecil yang dengan polosnya mengatakan “sosok
itu adalah ibu”, dan yang sangat memprihatinkan ketika figur itu adalah seorang
artis, yang notabene bergelut dengan dunia lakon.
Coba renungkan, menjadikan sosok
artis sebagai figur dimana ketokohannya dinilai dari “jasanya” menghibur
masyarakat yang dengannya jasanya itu dibayar ? kan konyol, suka
sama orang yang digaji supaya orang-orang suka sama dia.
Tidak ada ukuran mendasar dari figuritas tersebut, dimana ideologi dan
tindakannya tak mencerminkan sesuatu yang real, tidak ada jaminan adanya
ketulusan, mungkin asumsi ini berangkat dari konotasi artis yang telah
melekatkan dirinya dengan fans. Dan konsekuensi itu berarti harus terus bersiap
“duduk manis” untuk memenuhi selera masyarakat.
Itulah yang
terjadi, proses memanjakan masyarakat. Sebagaimana diketahui, proses edukasi
tidak boleh dilekatkan dengan memanjakan minat lain yang memungkinkan
terganggunya konsentrasi pembangunan mentalitas diri, memanjakan identik dengan
kepuasan. Dan kepuasan adalah tempat yang buruk untuk dijadikan berproses dalam
memaknai realitas yang semakin kompleks sekarang ini.
Sehingga
figuritas dan etika akan menjadi kesatuan yang tak terpisahkan, semakin rendah
daya edukasi tokoh, maka semakin manja proses perkembangan mental dari penggemarnya.
Wajarlah ketika masyarakat-masyarakat yang terbentuk hanyalah emosional
kesenangannya saja. Ketika sang tokoh memperlihatkan penyakit latahnya, si
penggemar menjadikan itu sebagai sebuah kewajaran dalam perspektifnya, yang
bahkan lebih parah lagi bisa “menularinya” akibat dari proses pembiasaan
kewajaran tersebut. Semakin banyak tangisan dari tokoh dalam menanggapi hal-hal
yang sepele, konsekuensinya pun pasti lebih parah terhadap kejiwaan
penggemarnya.
Itulah yang
terjadi di masa sekarang ini, masyarakat-masyarakat bermental rapuh namun
sangat mudah diarahkan oleh suara yang telah dihakimnya sebagai baik mutlak,
dan sangat menolak bahkan merasa terganggu dengan yang berbanding terbalik
dengan perspektif baik mutlaknya, yaitu penokohannya, atau disebut dengan
fanatisme. Pada beberapa puluh tahun lalu, masih banyak figur-figur penghibur
yang memiliki karakteristik yang memang layak dijadikan tokoh panutan, semua
pun kenal sosok seperti Iwan Fals ataupun grup Warkop DKI, mereka punya
karakteristik yang mapan, tidak abu-abu. Maksud dari kemapaman disini adalah kemampuannya
untuk tetap konsisten dalam menyajikan kemampuannya untuk menjadikan diri
mereka sosok ikutan. Namun tidak sekedar julukan sosok ikutan, mereka
memberikan pesan-pesan maknawi dalam setiap sajiannya. Ya, menjawab
problematika sosial pada saat itu, pesan-pesannya kontekstual. Sarat dengan suara-suara
gerakan.
Nah coba
bandingkan figur-figur artis sekarang, tak memiliki “corak”. Itu terjadi karena
ketidak adanya konsistensi dalam melihat bakat dirinya sendiri. Ketika pasar
menginginkan lagu, mereka bernyanyi, ketika pasar mengingkan berjoget, mereka
pun dengan seronok berlenggak-lenggok. Begitu seterusnya, sehingga jelaslah
pencapaian masyarakat yang mengkonsumsi itu. Konsenkuensinya berujung pada
pemaknaan nihil, sekedar ungkapan ekspresi emosional yang labil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar