Kamis, 03 Desember 2020

Review Filosofi Teras (Bagian 1)


Bagi penggemar film maka tak asing dengan judul Gladiator,  dimana dalam salah satu adegannya memperlihatkan peperangan menaklukan pasukan barbar yang dilakukan oleh pasukan Romawi. Pertempuran yang berakhir dengan kemenangan itu membawa nama besar Kaisar Roma yang memimpin perang menjadi kian cemerlang, namun siapa sangka dibalik kebrutalan arena perang ternyata didesain oleh seorang filosof yang pada akhir perang tidak melakukan perayaan kemenangan seperti pada umumnya. Bahkan kaisar itu merenung dan mempertanyakan banyak hal, seperti apa tindakannya sudah tepat? apakah jatuhnya korban sebanyak itu melayakkan terjadinya perang?

Siapakah dia? 

Dia bernama Marcus Aurelius, seorang kaisar Roma yang hidup di abad 2 Masehi, dia dikenal sebagai filosof dan menulis buku yang  berjudul His Heauton For Himself yang diterjemahkan menjadi Meditations. Tiap kebijakan dari stretegi yang diambilnya melalui proses perenungan yang kemudian mampu membentuk jiwanya. Apa yang mempengaruhinya sehingga seorang kaisar besar mampu memahami nilai-nilai perenungan bahkan dalam medan peperangan? 

Sebelum masuk pada jalan yang dianutnya, kita maju beberapa ribu tahun setelahnya, seorang tentara Amerika bernama James Stockdale ditawan di Vietnam pada saat terjadi perang. Dia diterpa siksaan fisik yang sangat keras mulai dari cambukan, tendangan, bahkan pengasingan di penjara bawah tanah yang sangat menyerang psikisnya, namun apa yang terjadi ? setelah 7 tahun melalui itu, dia bebas dalam keadaan masih waras dan bahagia ! Kenapa tentara ini memiliki kekuatan mental sekuat itu ? Hal yang serupa dianutnya seperti orang sebesar Marcus Aurelius sang kaisar Roma. Sebenarnya masih banyak lagi yang menganut jalan seperti mereka, namun pembahasan kali ini cukup mereka berdua saja yang menjadi contoh untuk menjelaskan pengantar memahami "jalan hidup" ini.

"Apa" yang dianutnya ? akan menjadi pembahasan berikutnya, namun "siapa" yang memulai akan mengawali tulisan ini, mereka merujuk pada seorang pemikir Yunani kuno bernama Epiktetos, dia termasuk filosof yang agak berbeda melihat filsafat, dalam bukunya yang berjudul Enchiridion 46 dia beranggapan filsafat bukan penampungan ide yang hanya dijadikan pengisi waktu, tapi filsafat itu adalah praktik dan latihan. Tema-tema pemikirannya tidak seperti sentrum filsafat umumnya pada hakikat penciptaan ataupun sejenisnya, tapi lebih mengarah kepembinaan mental, pemikirannya masih jarang tersentuh padahal sangat sederhana dan sangat "way of life". Pemikirannya mempengaruhi banyak tokoh-tokoh besar dan bahkan sebagai dasar lahirnya Terapi Kognitif pada tahun 90an yang disebut sejajar dengan pemikiran Budha.

Pertanyaannya kemudian, kenapa harus berbicara tentang Kaisar Roma dan tentara Amerika? Apa relevannya dengan kehidupan sekarang? Apa sebenarnya ide-ide dasar dari seorang Epiktetos?

Melihat kisah peperangan sebelumnya maka diyakini orang-orang besar tersebut memiliki kekuatan jiwa yang sangat kuat dalam menghadapi persoalan hidup yang rumit dan menekan, dari sini kita bisa menarik pointnya ketika dalam kehidupan sehari-hari berurusan dengan seseorang yang kita tidak sukai, keadaan yang tidak sama dengan orang yang lebih baik, atau pada hal yang lebih kecil bagaimana mengatur emosi ketika terjebak macet ataupun merespon para hater di sosial media.

Secara garis besar Epiktetos membagi kejadian dalam beberapa hal yaitu : yang tergantung pada kita dan tidak bergantung pada kita (up to us - up no to us), baik dan buruk tergantung pada jiwa yang menafsir, karena menurutnya situasi yang menimpa kita itu sebenarnya adalah netral. Inti dari ajarannya adalah bagaimana bisa mendapatkan kedamaian ? Dia mendefinisikan hidup damai dengan Ataraxia / Apatheia , Ataraxia berasal dari kata Ataraktos yaitu A = Not , Tarassein= Trouble menjadi Tidak adanya gangguan. Begitupun Apatheia berasal dari A=Not dan Pathos = Nafsu (Negatif), Pathos disini diartikan sebagai perasaan iri hati, takut, sesal, nikmat.

Menurut Epiktetos, emosi negatif itu bukanlah perasaan yang liar ataupun hal yang irasional. Emosi apapun bentuknya adalah prodak dari rasio, hanya saja salah menilai alias rasionalitas melenceng yang hal ini sebenarnya bisa dillatih. Sehingga kebahagiaan itu tidak terletak pada hal yang didapatkan diluar kita tapi berada di dalam batin, makanya Epiktetos tidak menyamakan kebahagiaan dengan kenikmatan terhadap makan, uang, minum ataupun sex tapi yang bisa dilalui dengan ketenangan batin. Pun dalam memaknai Epiktetos selalu membedakan mana fakta dan representasi :

- Fakta sebagai hal yang menimpa kita, sifatnya netral sebagaimana ketika orang menghujat karena minimnya pengetahuan yang melahirkan sikap selaras dengan dirinya yaitu kebencian, menjadi wajar dan malah kita bisa lebih kasihan melihat mereka. 

- Representasi sebagai hal yang dinamis atau bergantung pada kita, seperti marah, benci, balas mencaci orang yang menghujat kita dan sebagainya.

Yah, jangan bosan pada tulisan selanjutnya akan sering diulangi kalimat "Up to us dan Up not to us" karena dari dasar inilah kita akan masuk pada pelajaran yang bernama "FILOSOFI STOA"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar