Sabtu, 23 April 2022

SELAMAT HARI BUKU

"Jurusan komputer kok, ngoleksi buku agama?" 

Sebelum bercurhat ria saya ingin selipkan beberapa kalimat tentang apa itu "hari buku sedunia", ditetapkan oleh UNESCO pada 23 April 1995 yang awalnya dipilih untuk mengenang penulis seperti Shakespare, Wordsworth, dan beberapa penulis terkenal lainnya, pertama diperingati di Inggris dan Irlandia pada tahun 1997. (https://news.detik.com/berita/d-6044229/hari-buku-sedunia-2022-tema-dan-sejarah-peringatannya), keberadaan hari buku ini penting sebagai simbol pentingnya kekuatan literasi ditengah semakin kurangnya minat baca (fisik dan digital) ditengah masyarakat, kemunduran minat baca salah satunya tidak lepas dari generasi yang besar di zaman internet (The Shallows - Nicholas Carr). Media ini seperti pisau bermata dua selain bisa digunakan pada hal yang baik juga bisa berbalik merusak bila penggunaannya tidak didasari dengan pengetahuan. Hilangnya kepakaran (The Death of Expertise) yang ditulis oleh Tom Nichols sangat cocok mengidentifikasi bagaimana budaya literasi itu semakin menghilang, dimana netizen seolah punya hak yang sama untuk berbicara dan menghakimi tentang semua hal serta hilangnya etika mengutip sumber rujukan.

Masuk pada curhat tentang literasi, seumuran SD saya sudah merasa punya curiosity / keingintahuan yang besar ketika melihat acara animal planet yang ditayangkan tv tiap sore hari yang kalau tidak salah ingat ada di channel TPI, menyimaknya terasa asyik membahas cheetah, gajah, semut dari kacamata sains. Di SMP saya mulai membeli buku-buku agama yang judulnya cukup "menjual" seperti tentang misteri alam kubur, padang mashyar, pokoknya tema-tema yang membuat saya iler hanya sekedar pemuas dahaga "yang penting tau aja" bahkan dari SMK, membeli buku jadi membudaya ketika kumpulin duit yg dikasi emma' dengan membeli tabloid pcplus, majalah sejenis infokomputer dsb. Nah di kuliahan akhirnya meledak ketika masuk pada pengkaderan HMI, tema-tema keislaman muncul kembali jadi idaman buku huntingan saya. 

Apa yang saya lakukan ini bukan mengabil alih seperti yang disebutkan buku Hilangnya Kepakaran oleh Tom Nichols, tapi menjadikan buku sebagai Healing Therapy pada pribadi saya atau bahasa mudahnya sekedar menjadikannya hobi seperti pegawai bank yang hobi shopping, pebengkel yang hobi mancing, tanpa harus menjadikan linearitas sebagai dasar. Teringat ketika orang tua saya melihat ratusan buku yang saya bawa sepulang selesai kuliah dari kost, mereka bilang "jurusan agama ga je muala?" dlm bahasa indonesia menjadi sindiran "apa saya ambil jurusan agama", respon saya bilang "suka saja". Yang salah ketika hanya bermodal membaca buku agama kita menjadi "ngustadz" yang kemudian sibuk memfatwai atau menceramahi seolah dari buah pikirnya sendiri. Saya pribadi tak pernah mengurusi keagamaan orang lain disekitar saya hanya karena punya bacaan, karena sadar tentang disiplin ilmu yang dimiliki. Namun bila hanya sekedar diskusi warung kopi ya bisalah dikit ngoceh-ngoceh (tapi tentu menyertakan rujukan). Awalnya buku saya selipkan di rak plastik, lama berselang pindah ke satu tatakan di lemari pakaian, semakin bertambah akhirnya punya lemari tersendiri (lemari bekas tempat simpan piring nenek) dan terakhir ditempatnya yang baru sudah mirip perpustakaan mini dalam lemari kaca khusus buku saja, alhamdulillah.





Buku bagi saya adalah sahabat sekaligus guru yang baik, dia tidak meminta untuk selalu dipahami, kita bebas melihatnya mulai dari bagian mana saja dan dia menunggu senggangnya kita untuk kapanpun dibuka. Buku mengajarkan saya melihat sosok yang beribu tahun telah meninggal berbicara didepan saya, buku memperlihatkan banyaknya perbedaan yang bisa kita liat disetiap pemikiran yang ada, buku melatih kita berempati yaitu berusaha memahami pikiran dan perasaan penulis pada waktu yang sama, dalam satu buku meringkas pikiran penulis yang bertahun-tahun dia selami, buku bagi saya adalah solusi sekaligus menjadi cita-cita. Saya mungkin miskin harta, masih dibiayai orang tua dan pekerjaan tidak menentu, tapi setidaknya satu-satunya yang kumiliki sekarang adalah BUKU.  



Sabtu, 05 Desember 2020

Review Filosofi Teras (Bagian 2)

Sekelumit sejarah STOIC (stoisisme)

Kenapa saya teralihkan pada aliran stoa, karena pemikiran ini di Indonesia terbilang baru, belum pernah saya dapatkan pada buku-buku filsafat selain dari Filosofi Teras ini, sangat unik dan mudah diterapkan karena tak perlu pemahaman yang dalam dalam mencernanya, bahkan bisa dibilang cukup tau dasar-dasar stoa ini hanyalah awal dalam memahaminya karena ketercapaiannya dititik beratkan pada penerapannya, yaitu proses penempaan nantinya akan dibahas lebih lanjut dengan beberapa contoh. Uniknya filosofi Stoa ini datang tanpa embel-embel pemikiran kanan atau kiri, bahkan lepas dari sekat agama apapun. Modalnya hanya pendisiplinan diri. Bahkan kedatangannya menggoyang aliran psikologi "berpikir positif" yang sebelumnya digaungkan oleh para motivator maupun psikolog umumnya.

Filosofi teras atau sering disebut aliran Stoa ini kita singkat saja dengan sebutan Stoic, sebenarnya sudah ada dari 2300 tahun yang lalu, jauh sebelum hadirnya paten paten agama dalam peradaban manusia. Tepatnya 300 tahun sebelum masehi, dimulai dari seorang saudagar besar dari Cyprus (selatan Turki) bernama Zeno berlayar melintasi laut Mediterania membawa barang dagangannya berupa pewarna tekstil yang digunakan untuk jubah-jubah raja, malangnya kapal yang membawanya tenggelam ditengah laut. Zeno pun terdampar di pulau Athena hanya menyisakan pakaian yang melekat pada badannya, Hari-harinya dilalui dengan luntang-lantung di kota yang menganggapnya asing itu, hingga suatu ketika Zeno ke toko buku dan mendapati karya filosof-filosof terkenal yang berujung pencariannya pada sosok penulisnya. Awalnya Zeno mengikuti filosof yang bernama Crates beraliran Cynic (menganggap dunia adalah penderitaan) namun sekian waktu dia membandingkan dan meramu pemikirannya sendiri dari banyak filosof yang ditemuinya. Dia pun mengajarkan pemikirannya di alun-alun gedung Athena yang dulunya terdiri dari tiang-tiang besar pada bagian depan bangunan, alun-alun itu dalam bahasa yunani disebut Stoa. Itulah sebabnya aliran ini disebut Filsafat Stoa atau yang menganutnya disebut stoisisme.

Dari situ lahirlah pemikir-pemikir Stoa mulai dari Yunani sampai kekaisaran Romawi seperti Chrisippus dari Soli, Yunani yang sering dianggap sebagai pendiri kedua stoisisme, ada juga Cato, politisi dan negarawan yang menentang Julius Caesar, Seneca dari Roma, filosof dan penulis drama, Rufus pengajar filsafat di era Kaisar Nero, Epictetus seorang budak dari Yunani, dan Kaisar Marcus Aurelius tentunya yang sudah dibahas di bagian pertama tulisan ini.



Kamis, 03 Desember 2020

Review Filosofi Teras (Bagian 1)


Bagi penggemar film maka tak asing dengan judul Gladiator,  dimana dalam salah satu adegannya memperlihatkan peperangan menaklukan pasukan barbar yang dilakukan oleh pasukan Romawi. Pertempuran yang berakhir dengan kemenangan itu membawa nama besar Kaisar Roma yang memimpin perang menjadi kian cemerlang, namun siapa sangka dibalik kebrutalan arena perang ternyata didesain oleh seorang filosof yang pada akhir perang tidak melakukan perayaan kemenangan seperti pada umumnya. Bahkan kaisar itu merenung dan mempertanyakan banyak hal, seperti apa tindakannya sudah tepat? apakah jatuhnya korban sebanyak itu melayakkan terjadinya perang?

Siapakah dia? 

Dia bernama Marcus Aurelius, seorang kaisar Roma yang hidup di abad 2 Masehi, dia dikenal sebagai filosof dan menulis buku yang  berjudul His Heauton For Himself yang diterjemahkan menjadi Meditations. Tiap kebijakan dari stretegi yang diambilnya melalui proses perenungan yang kemudian mampu membentuk jiwanya. Apa yang mempengaruhinya sehingga seorang kaisar besar mampu memahami nilai-nilai perenungan bahkan dalam medan peperangan? 

Sebelum masuk pada jalan yang dianutnya, kita maju beberapa ribu tahun setelahnya, seorang tentara Amerika bernama James Stockdale ditawan di Vietnam pada saat terjadi perang. Dia diterpa siksaan fisik yang sangat keras mulai dari cambukan, tendangan, bahkan pengasingan di penjara bawah tanah yang sangat menyerang psikisnya, namun apa yang terjadi ? setelah 7 tahun melalui itu, dia bebas dalam keadaan masih waras dan bahagia ! Kenapa tentara ini memiliki kekuatan mental sekuat itu ? Hal yang serupa dianutnya seperti orang sebesar Marcus Aurelius sang kaisar Roma. Sebenarnya masih banyak lagi yang menganut jalan seperti mereka, namun pembahasan kali ini cukup mereka berdua saja yang menjadi contoh untuk menjelaskan pengantar memahami "jalan hidup" ini.

"Apa" yang dianutnya ? akan menjadi pembahasan berikutnya, namun "siapa" yang memulai akan mengawali tulisan ini, mereka merujuk pada seorang pemikir Yunani kuno bernama Epiktetos, dia termasuk filosof yang agak berbeda melihat filsafat, dalam bukunya yang berjudul Enchiridion 46 dia beranggapan filsafat bukan penampungan ide yang hanya dijadikan pengisi waktu, tapi filsafat itu adalah praktik dan latihan. Tema-tema pemikirannya tidak seperti sentrum filsafat umumnya pada hakikat penciptaan ataupun sejenisnya, tapi lebih mengarah kepembinaan mental, pemikirannya masih jarang tersentuh padahal sangat sederhana dan sangat "way of life". Pemikirannya mempengaruhi banyak tokoh-tokoh besar dan bahkan sebagai dasar lahirnya Terapi Kognitif pada tahun 90an yang disebut sejajar dengan pemikiran Budha.

Pertanyaannya kemudian, kenapa harus berbicara tentang Kaisar Roma dan tentara Amerika? Apa relevannya dengan kehidupan sekarang? Apa sebenarnya ide-ide dasar dari seorang Epiktetos?

Melihat kisah peperangan sebelumnya maka diyakini orang-orang besar tersebut memiliki kekuatan jiwa yang sangat kuat dalam menghadapi persoalan hidup yang rumit dan menekan, dari sini kita bisa menarik pointnya ketika dalam kehidupan sehari-hari berurusan dengan seseorang yang kita tidak sukai, keadaan yang tidak sama dengan orang yang lebih baik, atau pada hal yang lebih kecil bagaimana mengatur emosi ketika terjebak macet ataupun merespon para hater di sosial media.

Secara garis besar Epiktetos membagi kejadian dalam beberapa hal yaitu : yang tergantung pada kita dan tidak bergantung pada kita (up to us - up no to us), baik dan buruk tergantung pada jiwa yang menafsir, karena menurutnya situasi yang menimpa kita itu sebenarnya adalah netral. Inti dari ajarannya adalah bagaimana bisa mendapatkan kedamaian ? Dia mendefinisikan hidup damai dengan Ataraxia / Apatheia , Ataraxia berasal dari kata Ataraktos yaitu A = Not , Tarassein= Trouble menjadi Tidak adanya gangguan. Begitupun Apatheia berasal dari A=Not dan Pathos = Nafsu (Negatif), Pathos disini diartikan sebagai perasaan iri hati, takut, sesal, nikmat.

Menurut Epiktetos, emosi negatif itu bukanlah perasaan yang liar ataupun hal yang irasional. Emosi apapun bentuknya adalah prodak dari rasio, hanya saja salah menilai alias rasionalitas melenceng yang hal ini sebenarnya bisa dillatih. Sehingga kebahagiaan itu tidak terletak pada hal yang didapatkan diluar kita tapi berada di dalam batin, makanya Epiktetos tidak menyamakan kebahagiaan dengan kenikmatan terhadap makan, uang, minum ataupun sex tapi yang bisa dilalui dengan ketenangan batin. Pun dalam memaknai Epiktetos selalu membedakan mana fakta dan representasi :

- Fakta sebagai hal yang menimpa kita, sifatnya netral sebagaimana ketika orang menghujat karena minimnya pengetahuan yang melahirkan sikap selaras dengan dirinya yaitu kebencian, menjadi wajar dan malah kita bisa lebih kasihan melihat mereka. 

- Representasi sebagai hal yang dinamis atau bergantung pada kita, seperti marah, benci, balas mencaci orang yang menghujat kita dan sebagainya.

Yah, jangan bosan pada tulisan selanjutnya akan sering diulangi kalimat "Up to us dan Up not to us" karena dari dasar inilah kita akan masuk pada pelajaran yang bernama "FILOSOFI STOA"

Selasa, 01 November 2016

hijab antara bungkusan atau dalaman

mari kita melihat apa yang populer masyarakat mengerti tentang jilbab, ialah pakaian yang menutupi beberapa bagian tubuh terutama rambut dan dada...
namun apakah pemaknaan itu cukup sampai disitu?
coba kita lihat dari segi makna, "jilbab" adalah sebutan pakaian islami yang diistilahkan dalam bahasa Indonesia. Namun kata jilbab sendiri sebenarnya berfungsi untuk mengHIJABpi perempuan.
Hijab dalam bahasa Arab diartikan sebagai pelindung, jadi disana ketika orang menggunakan tirai untuk menghalangi pandangan masuk ke ruang dapurnya maka itupun disebut hijab...
hijab lebih ke arah melindungi bukan menutupi, karena melindungi dan menutupi tentu hal yang berbeda...
misalnya : seseorang yang hendak mengamankan rumahnya dari pencuri dengan membangun tembok yang tinggi, anjing penjaga dan pintu 8 gembok....
TENTU SANGAT TERTUTUP.
tapi berbeda dengan seseorang yang berusaha mengamankan rumahnya dengan bersosialisasi dengan tetangganya, tidak terlalu menampakkan kemewahan, dan menjaga hartanya dengan bersedekah....
NAH ITU LEBIH TEPAT, MELINDUNGI DARI DALAM.
persoalan jilbab juga demikian, bukan pada persoalan tertutup atau terbukanya....
tapi apakah telah berfungsi sebagai hijab atau tidak?
yaitu apakah orang telah menghormati kita, apakah kita tak berbuat kerusakan di masyarakat, apakah anda dan masyarakat sekitar telah merasa nyaman dengan diri anda sendiri?
sama seperti seorang bayi yang diberi ASI oleh ibunya, yaitu tujuannya untuk memenuhi gizi si bayi, bukan untuk mengenyangkannya saja....
begitupun jilbab, diperintahkan oleh Tuhan, yaitu tujuannya agar bisa mengHIJABpi atau melindungi, bukan sekedar menutup saja....
memang perintah Tuhan itu mutlak, namun tugas kita berikutnya membuat itu berguna....
sama seperti seorang tentara dengan senjatanya....
perawat dengan obat-obatannya....
tukang kayu dengan gergajinya....
dan
perempuan dengan jilbabnya....
karena jilbab harus berguna sebagai hijab, yang melindunginya dari dalam....
karena kostum tak menjamin kualitas diri sendiri....
jadikan jilbab sebagai pakaian "dalam" mu agar yang nampak terlihat "telanjang"  tanpa balutan kemewahan. 

Sabtu, 25 Juli 2015

bukan CINTA

Cinta, penggerak menuju kepada kesempurnaan,
menuju yang sempurna,
yang dengannya pejalan menyempurna,
Cinta tidak berbicara yang bersifat sementara,
karena sifat cinta adalah abadi dan mengabadikan,
Cinta memiliki keindahan yang dengannya setiap langkah membuat tenggelam karena pesonanya yang memang sempurna,
Cinta adalah kesucian,
Cinta adalah keabadian,
maka sampaillah pada perjalanan
Cinta adalah Tuhan....
dialah keindahan, dialah yang sempurna, dialah kesucian.....
maafkan kami yang menjadikan patung-patungmu sebagai gerak istilah cinta,
maafkan kami yang menjadikan cinta sebagai alasan untuk menutupi kebusukan hati,
dan maafkan kami yang tak pernah memahami CINTA sebagaimana CINTA namun slalu kami lafazkan bahkan dengan berani mendendangkannya dengan suara cengeng lupa diri....
maafkan kami......

_ahmd_

Kamis, 16 Juli 2015

Ramadhan dan Hari Kemenangan ?

Tidak asing lagi kalimat hari kemenangan sering didendangkan di moment lebaran yang berlangsung tiap tahun, ada beberapa hal yang sepatutnya menjadi perhatian utama sebelum mengungkapkan "MENANG" itu, apakah puasa memang terasa berat anda jalani ? apakah shalat sunnah puluhan rakaat terasa sukar anda jalani ? apakah menahan diri terasa terasa menjemukkan anda jalani di bulan ini ? sehingga wajarlah anda mengatakan "MENANG" ketika hari akhir itu tiba ?

Perlu pemaknaan ulang dalam menafsirkan "Hari Kemenangan" itu, bukankah Ramadhan hadir untuk membentuk pribadi dengan latihan-latihan pengendalian diri ?



Coba kita telaah, puasa merupakan salah satu ritual yang mencolok pada bulan ini, puasa itu membentuk kepribadian yang tidak tunduk pada jasad kita. Lapar dan dahaga tidak menjadi bagian dari gerak pemuas diri kita, semua kecendrungan duniawi ditundukkan selama ritual ini berlangsung. Ini melambangkan seberapa patuh kita terhadap perintah ilahiah terhadap diri, melambangkan ketundukan jasad untuk menerima perintah dari sang kreatornya, sekaligus menunjukkan manusia tak selamanya berdimensi materi namun ada aspek-aspek spiritualitas yang menundukkan jasad tersebut.
Ketika puasa dilaksanakan, semua "ingin" diredam dan dikonversi menjadi "inginNya", tak ada lagi aspek-aspek kebinatangan yang tersisa selama ritual ini berlangsung. Semua panca indera ditundukkan untuk bergerak menujuNya, puasa telah mengajarkan meninggalkan kebuasan diri, menekan dominasi kebinatangan dan berusaha mengenal hakikat murni dirinya. Iya, dimana kesucian berusaha dikenalkan pada pengamalnya. Dikenalkan, karena hendak diaktualkan... Bukan sekedar "dilaksanakan". Seseorang yang oleh komandannya diperintahkan hormat, tidak sekedar "melaksanakan"nya tapi dibalik itu ada penghayatan dibalik sikap hormat itu pula. Begitupun puasa, semata-mata gerak menempa diri, agar setelahnya pengenalan kita berujung pada konsistensi... yaitu Seberapa paham anda pada puasa ketika ramadhan selama sebulan penuh ? Bila sekedar lapar dan haus, maka hewan piaran pun ketika tak diberi makan seharian bisa merasakan hal yang sama.

Sehingga ketika berpuasa, ketika melaksanakan shalat sunnah berpuluh-puluh rakaat, sebenarnya menyiapkan bekal diri untuk menghadapi bulan setelah Ramadhan. Bukankah hasil dari latihanlah yang menentukan kesuksesan ataupun kemenangan sesuatu ? Petinju yang berlatih selama berhari-hari membentuk otot dan menguasai teknik-teknik bertinju tidaklah dinilai menang dari waktu selesainya latihan ! Tapi hasil dari bertinjunya itu. Maksimal atau tidak ?
Nah begitupun ramadhan, "KEMENANGAN" apa yang diperoleh dari hari-hari yang penuh berkah telah meninggalkan kita ?? "KEMENANGAN" apa yang diperoleh dari latihan-latihan selama sebulan penuh ?? "KEMENANGAN" apa yang diperoleh dari lewatnya salah satu malam yang lebih baik dari seribu bulan ?? yah, kecuali sekali lagi anda merasa sukar, berat atau bersusah payah dalam melewati itu semua... wajarlah mengatakan "MENANG" !!
mungkin merasa bebas ? merasa telah merdeka dari bentuk jajahan ritual-ritual ramadhan ? hmmm wallahu allam.
semua dikembalikan pada penafsiran tindakan masing-masing dalam mengamalkan perintahNya.

Jumat, 27 Maret 2015

Figuritas dan Etika





Figur itu adalah panutan, yaitu bisa menentukan kualitas baik dan tidak baiknya persepsi kita, sehingga panutan seyogyanya adalah sebaik-baiknya tolak ukur dalam menjawab problematika diri, ketika figur menampilkan “geraknya” maka itulah salah satu cara kita mencari perspektif “kenapa” hal itu dilakukannya ? , sehingga disini terjadi dialektika, yaitu proses belajar antara yang dipanuti dan yang mengagumi. Disitu pun terjadi proses edukasi, dimana yang dipanuti akan berusaha lebih bijak memilah “gerakannya” dan pengagum lebih bisa menyimak “pembelajaran” olehnya.